Ke Jerman dengan Modal Ngeyel


Prolog

Pagi itu aku terbangun di ruangan serba putih dengan temperatur yang sangat hangat. Aku kira aku masih bermimpi, hingga aku mendegar suara seorang Pria dan anak laki-lakinya. Mereka berbicara dalam bahasa Jerman dan hari itu adalah hari pertamaku merasakan mimpi itu adalah kenyataan.

Melihat benua Eropa tentu merupakan mimpi hampir semua orang. Bagiku, hanya melihat gambar menara Eifel dari film, tv, hiasan gelas, atau poster sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Namun, jika burung ditakdirkan untuk terbang setinggi langit, manusia pun bisa menggapai mimpinya setiggi-tingginya. Oke, sekarang aku akan bercerita bagaimana awalnya aku bisa ke Jerman dengan modal ngeyel. Kalo nekat aja udah biasa, sekali-kali ngajarin ngeyel.


Hamm, Nordrhein-Westfalen 





Awal dibalik Impian

Jadi, siang itu aku duduk di kantin parkiran sekolah. Aku masih duduk di kelas 12 SMA. Tiba-tiba sahabatku Ayu datang dan bercerita: "Eh Lit, aku denger dari temenku kalo sekolah di Jerman gratis hlo. Mungkin kamu bisa coba. Kamu kan bisa bahasa Inggris dan tertarik buat belajar Bahasa Jerman." Seketika bumi berputar dan aku membayangkan diriku bisa berada di Berlin, sedang memakai jaket berlipat-lipat. Karena, aku berfikir setelah lulus SMA bisa kuliah di luar negeri semudah mencari tikus di dapur. Kalo di rumahku banyak tikusnya sih.

Setelah itu, aku mencari informasi tentang kuliah di Jerman dan bahkan sampai mendatangi seminar. Memang benar sekolah di sana digratiskan, mulai dari tingkatan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Tapi... ada tapinya. Kita hidup di dunia dimana mau ke WC aja bayar kan? Jadi secara teoritis memang tidak ada yang gratis di dunia ini.

Untuk mahasiswa Luar Negeri, apabila ingin kuliah di Jerman harus memiliki uang tabungan sekitar 8640 Euro. Uang tersebut adalah rekening beku yang nantinya akan kita terima sebagai deposit bulanan, selama kita menempuh kuliah. Tapi, setelah aku jelaskan keinginanku kepada orang tuaku, malah dijawab "Mbok pikir duit jiglok seko uwit? (Kamu pikir uang jatuh dari pohon?)". Ya, tapi yang namanya ngeyel, sekali ditolak harus cari cara lain sampai berhasil.

Setelah akhirnya menyerah dan keinginanku terhalang oleh dana, aku mencoba mencari berbagai kesempatan beasiswa Bachelor di Jerman melalui internet. Namun sayangnya, scholarship di negara yang terkenal dengan bratwurst-nya itu, hanya diperuntukan mulai dari jenjang Master. Segala keyword pun aku ketik di kolom Google, siapa tahu bisa dapat informasi atau hadiah undian jalan-jalan ke Jerman.


Bermula dari Bully-an

Aku belajar bahasa Jerman pun justru jauh sebelum Ayu bilang, kalau sekolah di Jerman itu gratis. Saat itu, aku masih duduk di akhir kelas 11 dan masih gencarnya bermain Twitter. Darinya aku mengenal seorang anak laki-laki Jerman. Kita masih berumur 16 tahun dan setelah sering berkomunikasi, timbulah cinta monyet diantara jarak yang begitu jauh.

Dia berinisiatif untuk menelfonku setiap malam, saat itu belum ada WhatsApp seperti sekarang dan kita belum mengenal Skype atau semacamnya. Suatu hari, hubungan yang hanya berlangsung selama liburan sekolah itupun mulai renggang, karena ia mendapatkan masalah dari Ibunya. Tagihan telfonnya membengkak, sekitar 200 Euro dan ibunya harus menghukumnya. Si Blondypun menyalahkan diriku yang tidak tahu apa-apa. Hingga marahnya, anak laki-laki berinisial S itu menuliskan sesuatu di akun Twitternya yang ditujukan padaku.

Tulisan tersebut ditulis dalam bahasa Jerman dan Goggle Translator tidak membantu sama sekali. Ke-esokan harinya, secara tidak sengaja aku menemukan buku pelajaran bahasa Jerman di perpustakaan SMAku. Awalnya aku justru membenci bahasa dan negara itu setelah si S marah kepadaku dan memutuskan hubungan kita. Namun, justru aku menemukan ketertarikan yang begitu dalam setelah aku berhasil menerjemahkan tulisan tersebut. Butuh waktu satu bulan hingga aku bisa memahaminya. Isinya hanya cacian dan amarah dia karena tagihan telefon yang membengkak. Namun, dari cacian itu aku tidak pernah berhenti belajar bahasa Jerman hingga sekarang.


Ke Jerman dengan Modal Ngeyel

Hari itu di luar hujan, karena aku ngambek dan enggan membantu Bapak jualan di warung, aku iseng-iseng mencari informasi di internet dengan kata kunci "How to go to Germany for free". Siapa tahu, kali ini aku akan berhasil dapat informasi program beasiswa atau undian jalan-jalan lainnya. Dan benar saja, kata kunci ajaib itulah yang membawaku sampai ke Jerman dengan hanya modal ngeyel.

Aku bilang dari awal kan, kalau sekali gagal coba terus sampai berhasil. Sang penemu bola lampu pijar Thomas Alva Edison saja harus melakukan ratusan bahkan ribuan kali percobaan dan kegagalan, sampai akhirnya berhasil. Lah, aku yang pernah dapat nilai 10 dari 100 di mata pelajaran Matematika, mau jadi apa kalo punya mental tahu. Jangan salahkan tempe terus-menerus. Kasihan yang jualan.

Lanjut ke persoalan tadi. Melalui Google aku menemukan sebuah program bernama Au-Pair. Memang masih terdengar asing di kalangan umum. Program tersebut memungkinkan kita tinggal selama satu tahun bersama keluarga asuh di Jerman, dimana kita mendapatkan fasilitas seperti kamar pribadi, sepeda, bahkan mobil. Keluarga asuh juga memberikan kesempatan kita mengikuti kursus bahasa Jerman di kota tempat tinggal mereka.

Sebagai seorang Au-Pair, kita berperan sebagai kakak asuh bagi anak-anak yang ada di rumah, dan kita bertugas menjaga, bermain bersama mereka, serta membantu membersihkan rumah. Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan ringan, karena seorang Au-Pair hanya diperbolehkan bekerja maksimal 30 jam/minggu. Selain itu, kita juga mendapatkan uang saku (260 euro untuk negara tujuan Jerman) dan libur hingga 4 minggu dalam kurun waktu satu tahun, serta akhir pekan.

Fasilitas tersebut dapat kita gunakan untuk menjelajahi negara lain, karena sebagian besar negara Eropa merupakan bagian dari wilahyah Schengen. Yang artinya, kita dapat menggunakan Visa Au-Pair untuk menjelajahi sebagian negara di Eropa.

Aku mempelajari tentang program tersebut dan akan memutuskan kalau aku akan ke sana setelah lulus kuliah nanti. Karena, saat itu orang tuaku masih enggan melepasku di usia 18 tahun. Untung saja waku itu aku masih nurut. Rentang waktu empat tahun aku gunakan untuk mempelajari bahasa Jerman secara autodidak, baik melalui internet maupun buku. Buku yang aku pinjamdari perpustakaan sekolah itu sampai sekarang belum aku kembalikan. Maafkan aku Bu-Pak Guru. Aku pikir juga tidak akan ada yang menggunakannya, karena di sekolahku tidak ada pelajaran bahasa Jerman.

Bukan hal yang mudah selama empat tahun itu. Ketika aku menceritakan tentang impianku untuk pergi ke Jerman, banyak yang menertawakannya. Mereka fikir aku berkhayal karena kebanyakan menonton film animasi, tapi justru aku juga menemukan keberanianku dari berbagai karakter Disney, seperti Pocahontas, Mulan, Belle, dan lain sebagainya.



Masih tetep Ngeyel

Tiga tahun sudah berlalu dan aku sudah menginjak semester 6 di bangku kuliah jurusan Ilmu Komunikasi. Dengan segala modal yang aku kumpulkan melalui internet, belajar bahasa Jerman secara autodidak, dan mengumpulkan pundi-pundi uang dari hasil modeling, kerja part time, hingga les privat anak-anak, aku berfikir semua akan berjalan semulus kulit Syahrini. Aku sih belum pernah pegang, tapi kelihatannya mulus.

Namun siapa sangka kalau akan banyak sekali kerikil di jalanan. Mungkin karena belum di aspal. Ya, sudahlah. Sekali lagi aku meyakinkan niatku kepada orang tuaku. Awalna mereka berfikir jika impianku dari jaman SMA itu akan begitu mudah aku lupakan setelah memasuki kuliah. Namun mereka salah.

Bapak selalu berkata "Ngopo kerjo adoh-adoh, ning kene yo akeh gawean. (Ngapain kerja jauh-jauh, di sini juga banyak pekerjaan)". Wajar lah kalau seorang Ayah khawatir, jika anak perempuannya harus pergi jauh darinya. Tapi Ibuku selalu menyuport dan ia tahu bahwa anaknya tidak akan pernah menyerah. Namanya juga ngeyelan.

Tidak kehabisan akal, aku mencoba dengan melakukan couchsurfing www.couchsurfing.com. Sebuah komunitas traveler, yang memungkinkan mereka untuk dapat tinggal dan merasakan kehidupan orang lokal secara cuma-cuma. Aku pun dengan senang hati menawarkan kamarku untuk menampung para bule dan mengajak mereka berkeliling kota, serta bertemu dengan teman-temanku. Keuntungan buatku, aku dapat melatih kemampuan bahasaku secara langsung dengan mereka.

Dengan menolong mereka, aku pun berhasil meyakinkan Bapak jika aku akan baik-baik saja di luar sana. Karena aku punya banyak teman dari Eropa (Belanda, Prancis, dan Jerman) yang secara langsung aku kenalkan kepada keluargaku. Tetangga pun sampe heran, darimana aku bisa menemukan mereka. Kadang aku merasa rumahku seperti Hostel ditengah kampung. Tapi siapa sangka, justru mereka yang selalu menyuportku dan meyakinkanku bahwa semua yang aku impikan tidaklah mustahil.



Proses yang Tidak Menghianati Hasil

Setelah memasuki semester 7 aku mencoba membuat profil Au-Pair di www.aupairworld.com. Hanya dalam kurun waktu lima hari, aku mendapatkan tanggapan positif dari salah seorang calon keluarga asuh. Akun tersebut dapat kita buat secara cuma-cuma. Memang sekarang banyak agen yang membantu kita dari proses belajar Bahasa Jerman, mencari keluarga asuh di Jerman, hingga conseling pembuatan visa. Karena memang proses pebuatan visa harus melalui interview dalam bahasa Jerman, untuk melihat seberapa jauh kemampuan bahasa kita. Apabila dirasa kurang mencukupi, penolakan pun sering terjadi.

Aku menjalani semua proses tersebut dengan sendiri (karena cari yang murah), mulai dari antri nomeran subuh-subuh di Kantor Imigrasi untuk buat pasport hingga ke Jakarta naik bus selama 16 jam untuk ambil visa, karena kehabisan tiket kereta. Setelah itu kapok karena sepanjang jalan cuma disajikan lagu semacam Sera satu album full dari Kartasura sampai Jakarta. Rasanya kaya mau mati.Tapi Alhamdulillah aku sampai dengan selamat.

Persyaratan Visa Au-Pair pun tergolong mudah, namun bagiku bagai mencari permen Jagoan Neon di tahun 2017, yang sebagai berikut:
  1. Vertrag atau Surat Kontrak Kerja yang dikirim oleh keluarga asuh dari Jerman (waktu itu suratnya mungkin nyangkut di Samudra Atlantik, jadi sampai tiga bulan tidak sampai juga. Sampai akhirnya, calon keluarga asuhku ingin mengirimkan ulang dan aku memiliki inisiatif untuk menititipkan ke Franzi yang tinggal di München. Aku mengenalnya di Lombok dan kebetulan saat itu, ia hendak ke Indonesia lagi untuk bekerja sebagai instruktur menyelam. Dia pun dengan senang hati membantuku*);
  2. Meldebescheinigung keluarga asuh atau dalam Bahasa Indonesia seperti Kartu Keluarga. Waktu itu Meldebescheinigungku jadi masalah, karena keluarga asuhku pindah rumah. Sehingga pihak imigrasi setempat tidak dapat mengirimkan dokumenku kepada mereka;
  3. Sertifikat Bahasa dari Goethe Institute setingkat minimal A1 (waktu itu aku melakukan ujian A2 karena aku sudah belajar cukup lama**);
  4. Asuransi yang dibuat dari calon keluarga asuh (waktu itu keluarga asuhku tidak mengetahui tentang persyaratan tersebut dan Hayati sampai lelah menjelaskannya, tapi akhirnya mereka memahaminya juga dan mengirimkan surat asuransi dalam format PDF);
  5. Membuat Termin Pembuatan Visa (dengan PDnya aku membuat Termin pembuatan Visa meskipun aku belum tahu hasil ujian bahasaku dari Goethe Institut. Aku sudah duduk di kertea menuju Jakarta 15 menit sebelum mendapatkan e-mail hasil ujianku. Rasanya kaya mau bunge jumping mungkin ya. Karena jika aku tidak lulus ujuan, aku tidak akan bisa melamar Visa. Tapi syukur, semua berjalan sesuai rencana);
  6. Foto Biometris (banyak foto studio di Jakarta yang sudah berpengalaman untuk negara tujuan Jerman);
  7. Formulir pendaftaran visa yang dapat diunggah di bawah;
  8. Daftar riwayat hidup dalam format tabelaris dan surat motivasi kenapa ingin menjadi Au-Pair di Jerman. Hindari menuliskan tujuan melakukan program tersebut untuk kuliah, karena penolakan mungkin terjadi. Au-Pair adalah program pertukaran budaya antara Jerman-Indonesia, yang seharusnya memberikan dampak positif bagi kedua pihak.
  9. Interview Visa (setelah dokumen persyaratan kita lengkap, kita akan menjalani interview dengan pihak kedutaan besar yang merupakan orang Jerman***);
  10. Menunggu (menunggu di sini yang paling menegangkan. Karena semua jirih payah kita ditentukan disini. Proses tersebut juga tidak semulus Autobahn di Jerman pun kulit Syahrini. Surat Verifikasi yang dikirim dari Kedutaan Jerman tidak pernah sampai ke keluarga asuhku, karena mereka pindah rumah saat aku apply visa. Pihak kedutaan sampai menelfon berkali-kali menanyakan hal tersebut. Karena jika proses tersebut memakan waktu terlalu lama, kemungkinan penolakan visa juga besar. Aku memasrahkan saja setelah berusaha sejauh itu, sampai akhirnya siang itu pukul 9.13 WIB, 6 September 2016 aku mendapatkan e-mail dari kedutaan Jerman bahwa visaku sudah jadi. Rasanya kaya mecahin bisul meski belum pernah bisulan. Puas);
  11. Booking tiket pesawat (saat berlibur ke Bali, aku bertemu dengan Becci dari Dortmund. Dia menyarankanku untuk membeli tiket pesawat dari Eurowings via Bangkok. Saat itu hanya sekitar 3,5 juta);
  12. Terbang ke Jerman.
*Beberapa minggu setelah Vertrag di kirim, keluarga asuhku memutuskan untuk membatalkan kontrak kersebut karena mereka sedang mengalami krisis. Aku berusaha dan berdoa sepanjang malam dan dua minggu kemudian, mereka memutuskan untuk tetap menerimaku di Jerman.

**Apabila nilai ujian hanya Ausreichend atau Cukup, kemungkinan akan sulit untuk proses interview Visa mendatang. Aku mendapatkan penilaian Gut atau Bagus waktu itu.

***Pertanyaan wawancara hanya semacam pertanyaan dasar tentang keluarga asuh kita, berapa anak yang mereka miliki, pekerjaan, darimana kita belajar bahasa Jerman, alasan mengikuti program tersebut, rencana setelah program selesai dan semacamnya.

Berikut persyaratan visa Au-Pair secara lengkap, yang tertera di website Kedutaan Jerman untuk Indonesia: http://www.jakarta.diplo.de/contentblob/3926234/Daten/5847667/D1_id__AuPair.pdf


Setelah semua masalah visa selesai, aku pun masih dihadapkan dengan masalah wisuda yang terancam mundur, karena batas waktu pendaftaran yang terlalu singkat. Aku berjuang mati-matian untuk bisa wisuda di bulan September, karena di bulan Desember harus berangkat ke Jerman. Akupun berinisiatif untuk menghubungi salah satu dosen untuk mempercepat proses birokrasi, namun ada yang justru menganggapku tidak sopan karena ingin segera lulus (?).

Bayangkan ketika kamu main Super Mario Bros dari level 1 sampai final, pas udah tinggal lompat ke garis finish malah mati kesandung krikil. Kan gak lucu. Mungkin aku memang harus bersakit-sakit dahulu untuk lebih bisa belajar tentang pahitnya perjuangan. Intinya harus kerja keras dan jangan pernah menyerah. Sepatuku bahkan sampai putus waktu mengurus birokrasi wisuda, karena harus lari marathon dari fakultas-tempat fotokopi-biro administrasi-dan kawan-kawannya selama tiga hari berturut-tutut.
Pada akhirnya, aku berangkat melalui Bangkok pada 28 November dan terbang ke Cologne pada 31 November 2016. Di hari yang sama sekitar pukul 16.00 waktu setempat, aku tiba di sana dan Ayah asuhku menjemputku di Bandara. Semua tampak terasa di mimpi. Udara begitu dingin, sekitar 5 derajat namun aku tidak merasakan kedinginan sama sekali.


Weihnachtmarkt Hamm, Desember 2016



Teman-teman baru dari kelas bahasa Jerman di Volkhochschule Hamm

Kamar pribadi Au-Pairku di Hamm 


Begitu banyak lika-liku yang harus aku alami hingga aku berhasil menapakkan kaki di negeri pencinta kentang ini. Begitupun dengan Thomas Alva Edison yang harus mengulang kegagalan sampai akhirnya karyanya dapat membantu seluruh manusia di bumi hingga sekarang. Mimpiku belum sejauh itu, namun jika tujuanmu baik, alam akan membantumu dengan cara yang tidak terduga. Tidak terasa hampir satu tahun sudah aku menjalani program tersebut. Kini aku berada di Hamburg untuk menjalani program kerja sosial secara sukarela. Aku pasti akan membagikan kisah berikutnya.

Musim Panas di Jerman


Keluarga asuhku: Daniel, Astrid, Rainer, & Romeo


Rasanya tidaklah mudah berpisah, setelah kita melalui berbagai musim dan mengalami hal-hal indah bersama. Namun, hidup terus berjalan dan cita-cita harus tetap diraih. Meskipun terkadang terasa tidak mungkin, selama kita masih memiliki keberanian untuk mencoba impian itu tidak akan lebih jauh dari genggaman tanganmu.

Aku menempelkan sebuah quote di tembok kamarku di Kartasura yang berbunyi: "wenn Du an dich glaubst, kannst Du alles schaffen". Maka jika kamu percaya pada dirimu, pasti kamu dapat mencapai apapun yang kamu impikan. Karena hidupmu bagaikan kapal dan kamu nahkodanya. Hanya nahkoda yang dapat menggerakkan kapal tersebut ke tujuan. Badai dan rintangan pasti akan selalu ada, namun jika kata "menyerah" tidak ada dalam kamusmu semua akan berakhir indah.

Terimakasih untuk semua yang telah mendukungku dan juga menertawakanku. Setiap kali mereka merendahkanmu, jadikan itu semangat untuk membuktikan bahwa suatu saat mereka akan terkejut ketika kamu berhasil. Buktikanlah dengan hasil, mereka tak perluh tahu tentang proses yang kamu jalani. Serta, jadikan dukungan orang terkasihmu sebagai pengingat bahwa harapan selalu ada, meskipun dari cara yang tidak terduga.

Komentar

  1. Super sekali... tulisan ini menginspirasi ....😍😎

    BalasHapus
  2. Smg ini jalan utk menuju suksesmu

    BalasHapus
  3. Super! Tulisannya memotivasi kak😊

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Jangan takut untuk bermimpi setinggi langit :)

      Hapus
  5. Danke litaaa ceritanya :)) aku sempet pengen ke berlin tp apa daya aku mental tempe + anak bawang :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau itu mimpimu selama kamu mampu dan mau berusaha, pasti kamu bakal sampai sana kok. Aku pun juga awalnya pesimis, tapi aku gak pingin suatu saat nanti nyesel karena selama aku mampu, aku gak gunain kesempatan itu. Cheers, Ista! :D

      Hapus
    2. terharuu, langsung berkaca kaca :'( thankyouuuu :')

      Hapus
  6. Pengalamannya seperti yg aku rasakan, begitu pesimis, byk rintangan dan pertimbang, bahkan Jika orang tua tahu, bakalan lebih sulit rintangannya. Tp tulisan ini sangat memotivasiku. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan pernah menyerah. Kamu pun pasti bisa menggapai mimpimu. Bermimpi tidak menganal usiamu, gendermu, atau fisikmu. Mimpi hanya butuh usahamu untuk menjemputnya! :)

      Hapus
  7. Cerita dari seorang perempuan jawa yang sangat menginspirasi, penuh perjuangan, semangat pantang menyerah serta kepercayaan bahwa semua yang terjadi tidak luput dari campur tangan Tuhan, Semoga suatu saat dapat juga merasakan dinginnya Eropa serta merasan hiruk pikuk penduduknya, Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih! Kalau kamu percaya dan terus berjuang tanpa menyerah, kamu pasti akan meraih mimpimu juga. Apapun itu. Semangat! :)

      Hapus
  8. Saya tidak tau mau komentar apa, yang terlintas hanyalah kata Kagum.

    BalasHapus
  9. Litaaaa ❤kehabisan kata2 aku.. Keren sekali.. Lita kl sdh plg indonesia ikutan Putri Indonesia ya.. Trimakasih sdh menginspirasi❤

    BalasHapus
  10. Dankeschön für informationen ..sangt menginspirasi di masa2 sekrang yg msih dalam perjuangan menuju nrgra impian ..Tuhan berkati kak sdh mau membgikn informasi yg sangtb bermnfaat

    BalasHapus
  11. Sangat menginspirasi mbak, semoga saya bisa kayak mbak

    BalasHapus

Posting Komentar